Rabu, 23 Mei 2012

MASA JAYA PERADABAN ISLAM

Refleksi Historis: Masa-masa Kegemilangan Peradaban Islam

Dunia barat sekarang muncul sebagai bangsa yang mempunyai kekuasaan dalam segala aspek; keilmuan, budaya, ekonomi, politik, bahkan juga militer. Seolah-olah dunia Islam sudah tidak berarti lagi bagi perkembangan peradaban dunia.

Kalau kita jujur dengan sejarah, sebenarnya ketika Islam mencapai puncak peradabannya, tidak ada pihak yang dirugikan. Sebaliknya, justru Eropa malah berhutang budi kepada dunia Islam. Seandainya tidak ada peradaban Islam yang menjaga keutuhan warisan ilmu pengetahuan Eropa kuno, boleh jadi bangsa Eropa tidak mengenal sejarah nenek moyang mereka.


Naskah berharga para ilmuwan barat purba semacam Socrates, Aristoteles dan Plato, tidak dikenal oleh umat manusia, kecuali dalam bahasa Arab. Umat Islam pada saat itu menterjemahkan naskah-naskah ke dalam bahasa Arab.


Sebelum mengenal peradaban Islam, keadaan negeri-negeri barat sungguh memprihatinkan. Dalam buku Sejarah Umum karya Lavis dan Rambon dijelaskan bahwa Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga sesudah abad ke-10 M merupakan negeri yang tandus, terisolir, kumuh, dan liar. Tempat kediaman dan keamanan manusia tidak lebih baik daripada hewan.


Jauh berbeda dengan keadaan kota-kota besar Islam pada waktu yang sama. Seperti di kota Cordoba, ibukota Andalus di Spanyol. Semua penduduknya terpelajar. Karena orang-orang miskin pun menuntut ilmu secara cuma-cuma.

Selain ketinggian peradaban Islam, para ilmuwan Muslim juga punya peran besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dunia. Sungguh sangat naïf sekali jika ada yang mengatakan bahwa dunia baratlah yang telah mendobrak peradaban dunia. Karena pada dasarnya Islamlah yang telah banyak memberikan kontribusi keilmuan terhadap dunia barat.

Dalam bidang kedokteran ada Abu Bakr Muhammad bin Zakariya ar-Razi (Razes; 864-930 M.) yang dikenal sebagai ‘Dokter Muslim terbesar’. Peradaban Islam juga punya pakar kedokteran lain seperti Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina (Avicenna; 371-428 H. / 981-1037 M.).


Ilmu kimia lahir dan dibesarkan di dunia Islam. Siapa tidak kenal Jabir Ibnu Hayyan yang meninggal tahun 803 M. Oleh ilmuwan barat modern yang jujur, sosok beliau disebut sebagai Bapak Kimia.


Dunia modern sekarang ini tidak akan mengenal hitungan matematika tanpa kehadiran seorang ahli matematika Muslim yang bernama Muhammad bin Musa Al-Khwarizmi (770-840 M). Bahkan dunia tidak pernah mengenal pengkodean digital yang terdiri dari angka nol (0) dan satu (1), kalau bukan karena jasa peradaban Islam. Karena umat Islam adalah penemu angka nol, setelah sebelumnya bangsa Romawi menuliskan angka dengan balok-balok yang sangat tidak praktis.


Puncak zaman keemasan Islam muncul pada masa dinasti Abbasiyah (132-656 H / 750-1258 M) di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-8333 M). Pada masa itu dibangun Bait Al-Hikmah dibawah pimpinan Hunain ibn Ishaq (809-873 M) di kota Baghdad yang merupakan pusat pengembangan filsafat dan sains. Selain Baghdad, Damaskus, Antioch, Ephesus (Syiria), kota Marwa (Persia Tengah), Jundisyapur (Persia) dan Harran (Mesopotamia) serta Iskandaria (Mesir) juga dijadikan sebagai pusat pengembangan sains dan filsafat.


Saat Baghdad dikalahkan oleh bangsa Mongol, tiba-tiba muncul imperium terbesar dan terlama sepanjang sejarah, Khilafah Turki Utsmani. Bahkan para khalifahnya berhasil membebaskan kota Byzantium yang dulunya menjadi pusat kepemimpinan bangsa-bangsa Eropa.


Sejak itu bangsa Eropa terutama di bagian Timur sudah mengenal Islam, sebagian lainnya malah sudah memeluk agama ini. Dan khilafah Turki Utsmani masih tetap berlangsung secara de facto dan de jure hingga ditumbangkan oleh para kader yahudi yang tetap secara formal memeluk Islam. Itu terjadi sudah di abad 20, tepatnya pada tahun 1924.


Perkembangan peradaban Islam pada saat itu didukung oleh beberapa faktor yang cukup potensial. Pertama, secara politis terlihat kekuasaan Islam sedang berada dalam puncak kekuatannya. Kedua, wilayah koloni baru yang demikian luasnya memberi dukungan sumber dana yang besar. Ketiga, para penguasa umumnya memiliki terhadap keilmuan, sehingga kegiatan-kegiatan kajian keilmua terkait dengan kepentingan pemerintahan. Keempat, tumbuhnya semacam kecendrungan baru dalam pemikiran rasional di kalangan ilmuwan muslim.


Namun menurut saya mengagung-agungkan kebesaran masa silam sudah bukan waktunya lagi. Mempelajarinya masa lalu sebagai pengalaman, pengetahuan, dan sejarah (histories) untuk membangun perdaban masa depan adalah suatu hal yang harus dilakukan. Sikap dan mental defensif dan sikap apologetis hanya memberikan “kepuasaan” sementara dan kebanggaan semu, tetapi tidak memberikan fungsi sebenarnya kepada akal. Karena itu, dalam rangka pengembangan kebudayaan Islam, akal harus difungsikan secara kreatif untuk menghasilkan karya-karya yang mengukuhkan eksistensi pilar-pilar masa depan Islam.


Untuk itu, kebesaran masa lalu memang harus dipelajari secara seksama, bukan untuk didengungkan dan membuat kita terlena, tetapi dengan pelajaran dan pengalaman masa lalu itu kita harus membuat era kejayaan yang baru untuk masa sekarang dan masa akan datang. Al-Qur’an memberi sinyalemen sebagai berikut:


أولم يسيروا في الأرض فينظروا كيف كان عاقبة الذين من قبلهم كانوا أشد منهم قوة
“Apakah meraka tidak memjelajahi bumi dan memperhatikan bagaimana akibat [yang dialami] orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat daripada mereka [sendiri]” [Q.S. Ar-Ruum: 9]

أفلم يسيروا في الأرض فينظروا كيف كان عاقبة الذين من قبلهم دمر الله عليهم وللكافرين أمثالها
“Apakah mereka tidak melawat di bumi, maka mereka tidak memperhatikan bagaimana akibat orang-orang yang sebelum mereka? Allah menimpakan kebinasaan atas mereka” [Q.S. Muhammad: 10].

Dari dua ayat Qur’an ini, jelas menunjukkan bahwa manusia harus memperhatikan dan mempelajari pengalaman orang-orang masa lalu. Hal itu, berarti umat Islam diperintahkan mempelajari sejarah, Mengapa? Sejarah adalah cermin masa lalu untuk dijadikan pedoman bagi masa kini dan mendatang. Oleh karena itu, sejarah bagi kaum muslimin tidak hanya bermanfaat bagi cermin dan pedoman, tetapi juga menjadi alat untuk memahami secara lebih tepat sumber-sumber Islam. Melalui dan dari sejarah, orang akan mengenal siapa dirinya serta memperoleh keteladanan.


Dari sini, hal-hal yang positif dapat terus dikembangkan, sehingga kita dapat membuat era kejayaan yang baru untuk masa sekarang dan masa akan datang untuk membangun peradaban manusia.


Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk menjadi sebaik-baik umat, bukan sebaliknya. Sudah barang tentu kita tidak ingin menjadi seburuk-buruk golongan umat, akan tetapi kita ingin menjadi “sebaik-baik golongan ummat”, karena Islam mengajarkan untuk menjadi ummat terbaik (khairu ummah). Yakni ummat yang telah memiliki kejayaan dan kemulyaan pada masa silam dan berusaha terus untuk meraih kemajuan, kemulyaan dan kejayaan baru. Maka, tentang kemulyaan di masa silam, ummat Islam telah mempunyainya. Sekarang, kemulyaan dan kejayaan untuk era budaya baru harus diciptakan kembali.


Dalam sejarahnya, keyajaan itu bukan hanya terjadi di Barat seperti kita saksiakan ini. Tetapi kejayaan selalu berpindah tangan dari satu bangsa kepada bangsa lain. Garis besar perjalanan sejarah kejayaan itu bermula dari Mesir, berpindah ke Babilonia, dari Babilonia ke Aegian, dari Aegian ke Yunani, dari Yunani ke Carthago, dari Carthago ke Roma, dari Roma ke ummat Islam, dan akhirnya dari ummat Islam berpindah ke Barat. Maka, kejayaan Barat dan kebudayaannya sekarang ini pun sudah diramalkan akan juga berakhir.


Bangsa-bangsa Arab di kawasan Timur Tengah dengan kekayaan minyaknya semakin memperlihatkan getaran-getaran kemajuan. Negara-negara Arab ini sempat membuat resah negara-negara industri Barat dengan politik “embargo minyak”-nya ketika terjadi perang Arab-Israil di tahun 1970-an.


Sekarang ini, pada dekade 2000-an negara Pakistan dan Iran, juga menggetarkan negara Eropa dan Barat dengan program teknologi nuklirnya.


Proses kebangkitan kebudayaan Islam makin terasa. Ini tidak lain karena Islam itu sendiri yang menjadi energi ruhaniah dan etos aqliyah. Energi, vitalitas dan etos inilah yang memberi semangat “renaissance” kebudayaan di kalangan umat Islam dewasa ini.


Dari pemikiran yang dikemukakan di atas, sebenarnya kebangkitan Islam dan kebudayaan tergantung kepada umat Islam sendiri, tergantung kepada aktivitas-aktivitas kebudayaan yang dilakukannya. Maka, tanpa kegiatan kultural, kebangkitan kebudayaan Islam akan hanya merupakan harapan dan pengandaian saja.


Sudah semestinya umat Islam terpanggil untuk memberdayakan energi, vitalitas dan etos kerjanya dalam rangka memperkaya karya-karya budaya dalam segala aspek hidup dan kehidupan umat dalam memberi makna bagi manusia dan kemanusiaan. Islam harus tampil untuk “menolong peradaban dunia” dan “menolong seluruh dunia kemanusiaan”, karena misi utama Islam – sebagaimana diungkapkan al-Qur’an : “memberi rahmat bagi seluruh umat manusia”. Maka. Misi ini sudah barang tentu akan memacu Islam dan umatnya untuk tampil sebagai alternatif kekuatan budaya dan sekaligus sebagai paradigma baru yang menandai munculnya sosok baru kebudayaan dunia.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates