Rabu, 23 Mei 2012

ILMU PENGETAHUAN KETIKA MASA JAYANYA ISLAM ^^

Ilmu Pengetahuan pada Masa Kejayaan Islam

Pada masa kejayaan Islam ilmu pengetahuan dan teknologi sudah hidup berdampingan, inilah yang membuat begitu maju daripada bangsa barat pada saat itu yang sangat anti terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan, sehingga pada saat itu disebut sebagai jaman kegelapan oleh orang-orang Eropa.
Pada saat itu filusuf atau kelompok pemikir sangat berkembang yang ini lah mendorong perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berkembang karena pada saat itu kekuasaana islam sangat luas sehingga banyak pemikir-pemikiran dan ide-ide dari bangsa lain termasuk orang Hindu dari India, Budha dari Asia Tengah, Persia dan Yunani. Roma nyaris mati pada saat itu, dan Konstatintinopel telah berubah menjadi gurun intelektual yang biasa-biasa saja, sehinga pemikir paling orisinal yang masih menulis dalam bahasa Yunani berkerumun di Alexandria, yagn telah jatuh ke tangan Islam. Alexandria memiliki perpustakaan yang hebat dan berbagai akedemi, menjadikannya sebagai ibukota intelektual dunia GrekoRomawi.
Di Alexandria, umat Islam menemukan karya-karya Plotinus, seorang filusuf yang pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di alama semesta ini saling terhubung dari sebuah organisme tunggal, dan semuanya menyatu ke dalam Satu yang mistis, yang darinya segala sesuatu berasal dan yang kepadanya segala sesuatu kembali.
Dalam konsep tentang yang Satu ini, kaum muslim menemukan gema yang mendebarkan bagi penekanan apokaliptik Nabi Muhammad tentang keesaan Allah (tauhid). Terlebih lagi, ketika umat Islam meninjau pemikiran Plotinus, nemukan bahwa dia telah membangun sistem dengan logika yang ketat dari sejumlah kecil prinsip, sehingga membangkitkan harapan bahwa wahyu Islam dapat dibuktikan dengan logika.
Eksplorasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa Plotinus dan rekan-rekannya hanyalah eksponen terkakhir dari garis pemikiran yang bermula dari filusuf Athena yang jauh lebih besar ribuan tahun silam bernama Plato. Dan dari Plato, kamu muslim selanjutnya nemukan seluruh perbendaharaan pemikiran Yunani, dari masa pra-Sokrates hingga Aristoteles dan seterusnya.
Bangsawan Bagi Abbasiyah pada saat itu menaruh minat besar atas semua ide ini. Siapa pun yang bisa menerjemahkan sebuah buku dari bahasa Yunani, Sangsekerta, Cina dan Persia ke dalam bahasa Arab bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Penerjemah professional berbondong-bondong ke Bahgdad. Mereka mengisi seluruh perpustakaan di ibukota dan kota-kota besar lainnya dengan teks klasik yang telah diterjamahkan dari bahasa lain.
Kaum muslim adalah intelektual pertama yang melakukan perbandingan antara, matematika Yunani dan India, atau kedokteran Yunani dan India, atau kosmologi Persia dan Cina, atau metafisika dari berbagai kebudayaan. Mereka mulai menyelidiki bagaimana ide-ide kuno ini cocok dengan satu sama lain dan dengan wahyu lslam, bagaimana spritualitas terkait dengan nalar, dan bagaimana langit dan bumi ditarik dalam ke dalam satu skema yang menjelaskan seluruh alam semesta.
Plato telah menggambarkan dunia material sebagai maya (ilusi) dari dunia “nyata” yang terdiri atas “bentuk-bentuk” yang tak berubah dan kekal, dengan demikian, setiap kursi sebenarnya tak lebih dari salinan yang kurang sempurna dari kursi “ideal” yang ada hanya di alam universal. Mengikuti Plato, filusuf muslim menyatakan bahwa setiap manusia adalaha campuran nyata dan ilusi. Sebelum kelahiran, jelas jiwa tinggal di wilayah universal, dalam kehidupan jiwa menjadi berkaitan dengan tubuh yang terdiri dari materi, dan pada saat kematian keduanya terpisah, tubuh kembali ke dunia semua materi sementara jiwa kembali kepada Allah.
Meski sangat setia pada Plato, filsuf muslim juga memilki kekaguman besar pada Aristoteles, pada logikanya, teknik-teknik klasifikasinya, dan pemahamannya yang kuat tentang pertikularitas. Mengikuti Aristoteles, filusuf muslim mengategorikan dan mengklarifikasi dengan logika obsesif. Filusuf Al-Kindi menggambarkan alam semesta material menurut lima prinsip pengatur: materi, bentuk, gerak, waktu dan ruang. Dia menganalisis ke sub kategori, membagi gerak, misalnya, ke dalam enama jenis: lahir, rusak, bertambah, berkurang, berubah sifat, dan berubah posisi. Dia terus melanjutkan ini, bertekah membelah semua realitas menjadi bagian-bagian yang terpisah yang dapat dipahami akal.
Filusuf Al-Faribi secara khusus merekomendasikan agar para murid memulai dengan mempelajari alam, beralih ke studi tentang logika, kemudian akhirnya berlanjut ke yang paling abstrak dari semuat displin ilmu, matematika.
Orang Yunani menemukan geometri, ahli matematika India muncul dengan ide cemerlang memperlakukan nol sebagai angka, orang Babel menemukan gagasan tentang nilai tempat, dan umat Islam mensistematisasi semua gagasan ini, menambahkan beberapa gagasan dari mereka sendiri, untuk menciptakan aljabar dan bahkan meletekkan dasar-dasar matematika modern.
Di sisi lain, minat mereka mengarahkan para filusuf kepada hal-hal praktis. Dengan melakukan kompilasi, katalogisasi, dan refrensi silang penemuan-penemuan medis dari berbagai negeri, pemikir seperti Ibnu Sina mencapai pemahaman yang hampir modern tentang penyakit dan perawatan medis serta anatomi, sirkulasi darah sudah mereka ketehui, demikian pula fungsi hati dan sebagian bsar organ utama lainnya. Dunia muslim tak lama kemudian memiliki rumah sakit terbaik di dunia yang perna ada pada saat itu atau untuk selama berabad-abad yang akan dating, Baghdad sendiri memiliki ratusan fasilitas semacam ini.
Para filosof muslim era Abbasiyah ini juga meletakkan dasar-dasar kimia sebagai suatu displin dan menulis risalah-risalah tentang geologi, optik, botani, dan hampir semua bidang studi yang kini dikenal sebagai sains. Mereka tidak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Seperti di Barat, dimana ilmu pengetahuan sejak lama disebut sebagai filsafat alam, mereka melihat tidak ada perlunya mengkelompokkan beberapa spekulasi mereka ke dalam kategori yang berbeda dan menyebutnya dengan nama yang baru, namun sejak awal mereka mengakui kuantifikasi sebagai alat untuk mempelajari alam, yang merupakan salah satu pilar utama ilmu pengetahuan sebagai sebuah bidang yang mandiri. Mereka juga mengandalkan pengamatan untuk dasar teori-teori, pilar kedua ilmu pengetahuan. Mereka tidak pernah mengartikulasikan metode ilmiah gagasan tentang pembangunan pengetahuan secara bertahap dengan merumuskan hipotesis dan kemudian merancang percobaan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan. Andai mereka telah menjebati celah itu, ilmu pengetahuan seperti yang kita ketahui mungkin telah berkecambah di dunia muslim zaman Abbasiyah, tujuh abad sebelum kelahirannya di Eropa Barat.
Tapi itu tidak terjadi, karena dua alasan, yang salah satunya melibatkan interkasi antara sains dan teologi. Pada tahap awalnya, ilmu pengetahuan secara inheren kesulitan untuk memisahkan diri dari teologi. Masing-masing tampakna memiliki implikasi bagi yang lain, setidaknya bagi para pratiksinya. Ketika Galileo mempromosikan teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, otoritas agama mengadilinya karena menganggap bid’ah. Bahkan saat ini di Barat, kaum konservatif Kristen mempertentangkan narasi alkitabiah tentang penciptaan dengan teori evolusi, seolah-olah keduanya merupakan penjelasan yang saling bersaing tentang teka-teki yang sama. Sains menantang agama kernta bersikeras pada kecukupan metodenya untuk mencari kebenaran, eksperimentasi dan nalar tanpa bantuan wahyu. Di Barat, bagi kebanyakan orang, kedua bidang itu telah mencapai suatu kompromi dengan menyetujui untuk membedakan bidang penyelidikan mereka, prinsi alam dalah milik ilmu pengetahuan, sedangkan moral dan etika merupakan wilayah agama dan filsafat.
Di Irak pada abak ke-9 dan ke-10, tidak terdapat sains murni yang bisa dipisahkan dari agama. Para filusuf melahirkannya tanpa cukup menyadarinya. Mereka menganggap agama sebagai bidang penlitian mereka dan teologi sebagai kekhususan intelektual mereka, mereka sedang dalam pencarian untuk memahami hakikat terdalam realitas. Sehingga, apapun yang mereka temukan tentang botani, optik atau penyakit adalah produk sampingan dari pencarian inti. Sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk mengajukan pertanyaan “jika seseorang melakukan dosa besar, apakah disebut nonmuslim atau hanya seorang muslim yang buruk?”. Yang menurut orang modern itu merupakan diluar dari kewenangan seorang ahli kimia atau dokter. Pada dunia muslim, sebagai sandaran hokum, para ulama membagi dunia antara masyarakat orang beriman dan tidak beriman, karenanya penting untuk mengetahui apakah orang tertentu berada pada yang ini atau itu.
Para filusuf yang mengangani pertanyaan ini mengtakan umat Islam yang berdosa besar mungkin masuk termasuk golongan ketiga. Dari konsep ini berkembang sebuah mazhab teologi sendiri yang disebut Muktazilah, bahasa Arab untuk “orang yang memisahkan diri”, disebut demikan karena mereak telah memisahkan diri dari arus utama keagamaan.  Seiring dengan waktu para teolog ini merumuskan seperangkat ajaran agama yang menarik bagi para filusuf.
Filusuf ilmuwan umumnya mengafiliasi diri mereka dengan mazhab Muktazilah, tidak diragukan lagi karena itu memvalidasi cara penyelidikan mereka. Beberapa di antara filusuf ini bahkan meletakan nalar lebih tinggi daripada wahyu. Filusuf Abu Bakr Al-Razi secara terang-terangan menyatakan bahwa mukjizat yang diberikan nabi-nabi pada masa lalu itu hanya legenda dan bahwa surga dan neraka adalah kategori-kategori mental, bukan realitas fisik. Hal ini lah menempatkan para ulama dan filusuf saling berselisih. Karena ajaran para filusuf secara implisit membuat ajaran para ulama tidak relevan.
Ulama berada dalam posisi yang baik untuk melawan tantangan seperti ini. Mereka mengendalikan hukum, pendidikan kaum muda, lembaga-lembaga sosial, dan yang paling penting mereka memiliki kesetiaan massa. Tapi Muktazilah juag punya kelebihan, dukungan Istana, keluarga kerjaan, para bangsawan dan pejabat pemerintah. Bahkan khalifah Abbasiyah ketujuh mejadikan teologi Muktazilah sebagai doktrin resmi negeri itu. Para hakim harus melewati tes filsafat dan calon administrator harus bersumpah setia kepada nalar, untuk memenuhi syarat sebuah jabatan.
Lalu, raksasa intelektual sejarah dunia lahir, dari orang tua berbahasa Persia di Provinsi Khorasan. Namanya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.  Pada awal usia dua puluhan, Ghazali telah memperoleh pengakuan sebagai ulama terkemuka zamannya. Pada masa hidupnya, beberapa ulama telah mengembangkan teologi untuk bersaing dengan kaum Muktazilah, yang disebut Mazha Asy’ariyah. Bersikeras bahwa iman tidak akan bisa didasarkan pada akal, hanya pada wahyu. Fungsi akal hanya mendukung wahyu. Para teolog Asy’ariyah terus-menerus menentang pemuka Muktazilah dalam debat public, tetapi Muktazilah tahu trik orang Yunani memenangkan argument, seperti logika dan retorika, sehingga mereka terus saja membuat Asy’ariyah tampak bingung.
Ghazali datang untuk menyelamatkan meraka. Cara untuk mengalahkan para filusuf, ia menyimpulkan, adalah dengan bergabung bersama mereka lalu mengunakan trik-trik mereka untuk melawan mereka. Dia terjun ke dalam studi tentang zaman antik, menguasai logika, menghirup risalah-risalah bahasa Yunani. Kemudia menulis buku tentang filsafat Yunani yang bernama Maqashid al-Falashifah (Maksud Para Filsuf). Buku itu terutama tentang Aristoteles. Dalam kata pengantar, dia mengatakan orang Yunani itu keliru dan dia akan membuktikan itu, tetapi pertama-tama dia menjelaskan apa filsafat Yunani itu sebenarnya gara pembaca akan tahu apa yang ia sangkal ketika membaca buku selanjutnya.
Pemikiran Ghazali yang terbuka memang menimbulkan kekaguman orang. Dia tidak membuat boneka jerami untuk dirobohkannya sendiri. Urainnya tentang Aristoteles begitu jernih, sangat terpelajar, bahkan ahli Aristoteles yang membaca bukunya akan lebih mengerti Aristoteles.

Buku Ghazali sampai ke Andalusia darn dari sana ke Eropa, disana buku itu memukau beberapa orang yang bisa membacanya. Orang Eropa Barat telah cukup banyak melupakan pemikiran Yunani klasik sejak kejatuhan Roma. Bagi kebanyakan orang, lewat buku inilah mereka pertama kali mengenal Aristoteles. Namun, pada suatu waktu dalam perjalanannya, kata pengantar Ghazali dilepas dari buku ini, sehingga orang Eropa tidak tahu bahwa Ghazali menentang Aristoteles. Sebagian bahkan berpikir dia adalah Aristoteles, yang menulis dengan nama samaran. Singkatnya, Maksud para Filsuf begitu mengesankan bagi orang Eropa sehingga bagi mereka Aristoteles meraih aura otoritas yang di hormati, dan para filsuf Kristen terkemudian mencurahkan banyak energi untuk mendamaikan gereja dengan pemikiran Aristoteles.
Ghazali telah menulis lanjutan dari Maksud para Filsuf, buku penting yang kedua yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Ketidaklogisan para Filsuf). Pada kitab tersebut, Ghzali mengindetifikasi dua puluh premis yang menjadi sandaran filsafat Yunani, kemudian menggunakan logika silogisme untuk membongkar masing-masingnya. Salah satu serangannya terhadap gagasan tentang hubungan sebab akibat antara fenomena material. Hubungan seperti itu tidak pernah ada, menurut Ghazali, kita berpikir api menyebabkan kapas terbakar, karena api selalu ada saat kapas terbakar. Kita keliru menyamakan kesinambungan sebagai kausalitas. Sebeneranya, kata Ghazali, Allah lah yang menyebabkan dan satu-satunya dari segala sesuatu. Api kebetulan berada disana.
Jika kami membuat pemikirin Ghazali terlihat konyol pada bahasan ini, itu hanya kami tidak cukup berpikiran terbuka seperti dirinya terhadap Aristoteles. Argumen yang dasarnya sama pernah juga diajukan kembali oleh Zen Buddhis Amerika Alan Watts, yang menyamakan sebab dan akibat dengan kucing berjalan maju mundur dan melewati celah sempit di pagar. Jika kita melihat melalui celah dari sisi lain, kita harus melihat kepala kucing dan kemudian ekor, yang tidak berarti bahwa kepala kucing itulah yang menyebabkan ekor.

Beberapa filsuf memukul balik. Ibn Rusyd (di Eropa dikenal Averroes) menulis balasan untuk Ghazali berjudul Ketidaklogisan dari Ketidaklogisan (Tahafut al-Tahafut), tetapi itu tidak banyak gunanya, karena Ghazali juga yang menang.
Ghazali meraih penghargaan luar biasa untuk karyanya. Ia diangkat menjadi kepala Universitas Nizamiyah yang prestisius di Baghdad. Kaum mapan ortodoks mengakuinya sebagai otoritas keagamaan terkemuka zaman itu. Akan tetapi Ghazali mempunyai masalah, dia adalah manusia relegius yang autentik, dan entah bagaimana, di tengan status pujian itu , dia tahu tidak memiliki harta sesungguhnya. Dia percaya pada wahyu, dia menghormati Nabi dan Kitab, dia setia pada syariah, tetapi tidak merasakan kehadiran Allah secara jelas, ketidakpuasan seperti ini lah yang melahirkan tasawuf. Ghazali tiba-tiba mengalami krisis rohani, mengundurkan diri dari semua jabatannya, membagikan semua harta miliknya, meninggalkan semua teman-temannya, dan pergi ke pengasingan.
Ketika keluar dari sana beberapa bulan kemudian, dia menyatakan bahwa para ulama benar, tetapi para sufi lebih benar lagi. Hukum adalah hukum dan Anda harus mengikutinya, tetapi tidak bisa mencapai Allah dengan mempelajari kitab dan beramal baik semata. Anda harus membuka hati, dan hanya para sufi yang tau membuka hati.
Ghazali menulis dua buku penting lagi, Kimia Kebahagian (Kimiyyat al-Sa’adat) dan Kebangkitan Ilmu Agama (Ihya ‘Ulumiddin). Dalam kedua buku itu dia menempatkan perpaduan antara teologi ortodoks dan tasawuf dengan menjelaskan bagaimana syariah cocok dengan tarekat, metode sufi untuk menyatu dengan Allah. Dia menciptakan sebua tempat mistisisme dalam kerangka Islam ortodoks dan dengan demikian membuat tasawuf menjadi terhormat.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates