AL-RAZI & IBNU SINA; Dokter Paling Berpengaruh Abad  Pertengahan
 
Oleh : Mohammad Anwar
 
BAB I
 
Pendahuluan
 
 “Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,'' ujar Dr Ezzat  Abouleish MD dalam tulisannya berjudul Contributions of Islam to  Medicine.[1]  Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern ini merupakan  puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak  ribuan tahun silam. Begitu pentingnya, ilmu kedokteran selalu diwariskan  dari generasi ke generasi dan bangsa ke bangsa. Cikal bakal ilmu medis  sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban kuno, seperti Mesir,  Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai mengembangkan  dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana.  
Tapi peradaban keilmuan, khususnya dalam bidang kedokteran yang  dicapai oleh bangsa-bangsa itu akhirnya bergeser. Zaman pertengahan,  peradaban ada ditangan Islam, dimana Ilmu pengetahuan mendapat perhatian  penuh. Tidak terkecuali ilmu kedokteran, ketika penerjemahan dilakukan  secara besar-besaran. Dari kegiatan itu, dapat dikatakan kejayaan Islam  dalam keilmuan dimulai. Inilah zaman menuju keemasan Islam, yang dalam  dunia politik kekhalifahan dipegang oleh bani Abbasiyyah.
 
Kontribusi peradaban Islam dalam dunia kedokteran sungguh sangat tak  ternilai. Di era keemasannya, peradaban Islam telah melahirkan sederet  pemikir dan dokter terkemukan yang telah meletakkan dasar-dasar ilmu  kedokteran modern. Dunia Islam juga tercatat sebagai peradaban pertama  yang mempunyai Rumah Sakit dan dikelola oleh tokoh-tokoh professional.  Dunia kedokteran Islam di zaman kekhalifahan meninggalkan banyak karya  yang menjadi literatur keilmuan Dunia.
 
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, topik tentang perkembangan  Ilmu kedokteran di dunia Islam sangat penting untuk dikaji. Khazanah  keilmuan Islam terbentang luas di berbagai penjuru Dunia. Dimana itu  menjadi dasar kegiatan keilmuan akademis dan praktek pengobatan  lembaga-lembaga rumah sakit sampai sekarang. Dalam makalah ini, penulis  tidak bermaksud untuk membicarakan keagungan Islam zama itu, tapi tiada  lain supaya menjadi pemacu keingintahuan dalam keilmuan. Sehingga dapat  meningkatkan semangat para akademis dalam penelitian maupun kegitan  keilmuan lainnya.
 
Maka, dalam rangka memenuhi tujuan penulisan di atas, penulis akan  mencoba memaparkan bagaimana perkembangan ilmu kedokteran dalam dunia  Islam. Baik dalam ilmu medis atau institusi-institusi terkait. Siapa  tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam bidang ini? Bagaimana  karya-karyanya? Dan kontribusinya terhadap Dunia Ilmu kedokteran. Tapi  sebelumnya, perlu ditelusuri lebih dahulu awal sejarah perkembangan  keilmuan ini.
 
BAB II
 
Sejarah Perkembangan Ilmu Kedokteran
 
- Awal Perkembangan Sebelum Islam
 
 
Seperti ungkapan Dr. Ezzat Abouleist di statemen awal pendahuluan,  “Ilmu kedokteran tidak lahir dalam waktu semalam”. Keilmuan yang  berkembang dan praktek-prakteknya tidak tanpa mula. Tapi mempunyai  sejarah panjang yang dihasilkan para pendahulu hingga hasilnya dapat  dilihat saat ini. Awal mula kelahirannya dimulai pada masa peradaban  Yunani. Dan bangsa-bangsa lain sekitar pada masa itu.
 
Dalam peradaban Yunani, orang Yunani Kuno mempercayai Asclepius  sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis Canterbury  Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter  atau tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi  mengembangkan ilmu kedokteran adalah Hippocrates atau `Ypocras' (5-4  SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis dasar-dasar pengobatan.
 
Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia  adalah dokter yang berhasil menyusun lebih dari 60 risalah ilmu  kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis  risalah pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi  selama beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh  adalah Galen (2 M). Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad  pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang  telah berkembang pesat di Timur Tengah, menurut Ezzat Abouleish[2],  seperti halnya lmu-ilmu yang lain.  
- Pada Masa Peradaban Islam
 
 
1. Masa Awal
 
Perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut.  Periode pertama dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran  dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung  pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria  dan Persia secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani  dan Syiria kedalam bahasa Arab.
 
Rujukan pertama kedokteran terpelajar dibawah kekuasaan khalifah  dinasti Umayyah, yang memperkerjakan dokter ahli dalam tradisi  Helenistik. Pada abad ke-8 sejumlah keluarga dinasti Umayyah diceritakan  memerintahkan penterjemahan teks medis dan kimiawi dari bahasa Yunani  ke bahasa Arab. Berbagai sumber juga menunjukkan bahwa khalifah dinasti  Umayyah, Umar ibn Abdul Aziz (p.717-20) memerintahkan penterjemhan dari  bahasa Siria ke bahasa Arab sebuah buku pegangan medis abad ketujuh yang  ditulis oleh pangeran Aleksandria Ahrun.[3]  
Pengalihbahasaan literatur medis meningkat drastis dibawah kekuasaan  Khalifah Al-Ma'mun dari Diansti Abbasiyah di Baghdad. Para dokter dari  Nestoria dari kota Gundishpur dipekerjakan dalam kegiatan ini. Sejumlah  sarjana Islam pun terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer  pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Yuhanna Ibn Masawayah  (w. 857), Jurjis Ibn-Bakhtisliu, serta Hunain Ibn Ishak (808-873 M) ikut  menerjemahkan literatur kuno dan dokter masa awal.
 
Karya-karya original ditulis dalam bahasa Arab oleh Hunayn. Beberapa  risalah yang ditulisnya, diantaranya al-Masail fi al-Tibb  lil-Mutaallimin (masalah kedokteran bagi para pelajar) dan Kitab  al-Asyr Maqalat fi al-Ayn (sepuluh risalah tentang mata).  Karya  tersebut berpengaruh dan sangat inovatif, walaupun  sangat sedikit  memaparkan observasi baru. Karya yang paling terkenal dalam periode awal  ini disusun oleh Ali Ibn Sahl Rabban al-Tabari (783-858), Firdaws  al-Hikmah. Dengan mengadopsi satu pendekatan kritis yang  memungkinkan pembaca memilih dari beragam praktek, karya ini merupakan  karya kedokteran Arab komprehensif pertama yang mengintegrasikan dan  memuat berbagai tradisi kedokteran waktu itu.
 
Perkembangan tradisi dan keberagaman yang nampak pada kedokteran Arab  pertama, dikatan John dapat dilacak sampai pada warisan Helenistik.  Dari pada khazanah kedokteran India. walaupun keilmuan kedokteran India  kurang terlalu mendapat perhatian, tidak menafikan adanya sumber dan  praktek berharga yang dapat dipelajari. Warisan ilmiah Yunani menjadi  dominan, khususnya helenistik, John Esposito mengatakan “satu kesadaran  atas (perlunya) lebih dari satu tradisi mendorong untuk pendekatan  kritis dan selektif “.[4]  Seperti dalam sains Arab awal.  
2. Masa Kejayaan
 
Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang  begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam,  RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para  pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru. Tak  heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah  menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah  melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia  kedokteran, hingga sekarang. `'Islam banyak memberi kontribusi pada  pengembangan ilmu kedokteran,'' papar Ezzat Abouleish[5].  
Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran  terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd,  Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon. Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat  dengan nama Razes. Ia pernah menjadi dokter istana Pangerang Abu Saleh  Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi  dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Buku kedokteran  yang dihasilkannya berjudul “Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis)  dan “Al-Hawi”.
 
Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal  di Barat Abulcasis. Dia adalah ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi  menempuh pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi dokter istana  pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya  didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah  bedah.
 
Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul,  'Al-Tastif Liman Ajiz'an Al-Ta'lif' - ensiklopedia ilmu bedah terbaik  pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga abad ke-17.  Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga  menggunakan alkohol dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari  tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga menulis buku  tentang tentang operasi gigi.
 
Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau  Avicenna (980-1037 M). Salah satu kitab kedokteran fenomela yang  berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine.  Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang  berisi satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi  referensi sekolah kedokteran di Eropa.
 
Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes  (1126-1198 M). Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi  sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum  dalam karyanya berjudul 'Al- Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku itu  berisi rangkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul  'Al-Taisir' mengupas praktik-praktik kedokteran.
 
Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208  - 1288 M). Ia terlahir di awal era meredupnya perkembangan kedokteran  Islam. Ibnu El-Nafis sempat menjadi kepala RS Al-Mansuri di Kairo.  Sejumlah buku kedokteran ditulisnya, salahsatunya yang tekenal adalah  'Mujaz Al-Qanun'. Buku itu berisi kritik dan penambahan atas kitab yang  ditulis Ibnu Sina. Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga  mengembangkan ilmu kedokteran antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang  dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar  tahun 1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi  tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan Afrika.
 
Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan  sarjana-sarjana Islam mengalami masa stagnasi. Perlahan kemudian surut  dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di abad  pertengahan. sampai disini, penulis tidak akan menjelaskan nasib Ilmu  kedokteran masa kemunduran Islam. Karena sudah jelas Peradaban Islam  mengalami kematian. Oleh karena itu, dalam sub-bab selanjutnya penulis  akan terus menulusuri warisan-warisan peradaban Islam berkaitan dengan  bidang ini. Karena banyak sekali warisan peradaban Islam dalam bidang  kedokteran, baik itu berupa teori-teori pengobatan, lembaga-lembaga,  beserta sistemnya.
 
C.    Warisan-Warisan Peradaban Islam Dalam  Bidang Kedokteran
 
Era kejayaan Islam, kegiatan kedokteran semakin maju pesat.  Dokter-dokter Islam sangat berjasa dengan kontribusinya pada dunia ilmu  kedokteran. Hal ini dapat dilihat melalui penemuan-penemuan mereka dalam  menganilisis dan menemukan penyakit beserta obat penawarnya, cara-cara  pengobatan, institusi-intitusi pengobatan maupun pendidikan, serta  bangunan-bangunan lembaga tang berdiri kokoh hingga sekarang.  Dibawah  ini akan dipaparkan warisan-warisan Islam yang dijelaskan diatas.
 
Penemuan-penemuan  Islam Dalam Bidang Medis
 
1)      Urologi, Bakteriologi, Anesthesia, Surgery, Ophthamology,  Psikoterapi
 
Salah satu penemuan Islam yang juga diungkap oleh karya-karya Barat  dalam bidang medis adalah Urologi. Urologi merupakan cabang ilmu  kedokteran yang khusus menangani tentang penyakit ginjal dan saluran  kemih serta alat reproduksi. Mengenai cabang ilmu ini ditulis dalam  kitab Prof. Rabie E Abdel-Halim, bertajuk Paediatric Urology 1000  Years Ago. Dikitab ini disebutkan keberhasilan dunia kedokteran  muslim pada seratus tahun seribu tahun silam dalm bidang Urologi.
 
Dalam ilmu Urologi dikaji oleh empat dokter Islam dalam karyanya  masing-masing. Kitab keempat dokter tersebut ialah Kitab al-Hawi fi  al-Tibb karya al-Razi, Risalah fi Siyasat as-Sibian wa-  Tadbirihim, karya Ibnu al-Jazzar, kitab at-Tasrif li-man ‘Ajiza  ‘an at-Ta’lif, karya Al-Zahrawi, dan Al-Qanun fi at-TIbb, karya  Ibnu Sina. Dalam Urologi ini, mereka membahas dan menganalisis penyakit  ginjal dan yang lainnya dengan gejala-gejal yang timbul tentunya.  Mereka berhasil mengembangkan warisan-warisan ilmu medis YUnani dan  menciptakan penemuan baru.
 
Cabang-cabang Ilmu kedokteran yang  tidak bias saya jelaskan semuanya  dari  ilmuwan Islam, diantaranya Anesthesia, Surgery, Ophthamology,  Psikoterapi. Bakteriologi, Ilmu yang mempelajari kehidupan dan  klasifikasi bakteri. Dokter Muslim yang banyak memberi perhatian pada  bidang ini adalah Al-Razi serta Ibnu Sina. Anesthesia, suatu  tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan  berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ibnu  Sina tokoh yang memulai mengulirkan ide menggunakan anestesi oral. Ia  mengakui opium sebagai peredam rasa sakit yang sangat manjur.
 
Surgery, Bedah atau pembedahan adalah adalah spesialisasi  dalam kedokteran yang mengobati penyakit atau luka dengan operasi manual  dan instrumen. Dokter Islam yang berperan dalam bedah adalah Al-Razi  dan Abu al-Qasim Khalaf Ibn Abbas Al-Zahrawi. Ophthamology,  cabang kedokteran yang berhubungan dengan penyakit dan bedah syaraf  mata, otak serta pendengaran. Dokter Muslim yang banyak memberi  kontribusi pada Ophtamology adalah lbnu Al-Haytham (965-1039 M).
 
Selain itu, Ammar bin Ali dari Mosul juga ikut mencurahkan  kontribusinya. Jasa mereka masih terasa hingga abad 19 M. Psikoterapi,  serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk  mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Dokter Muslim yang  menerapkan psikoterapi adalah Al-Razi serta Ibnu Sina.[6]  
2)      Aneka Metode Terapi dalam Medis Islam
 
Kometerapi, Krometerapi, Hirudoterapi
 
Kometerapi adalah metode peratan penyakit dengan menggunakan zat  kimia untuk membunuh sel penyakit kangker. Perawatan ini berguna untuk  menghambat kerja sel. Dalam penggunaan modernnya, istilah ini merujuk  kepada obat antineoplastik yang digunakan untuk melawan kangker.  Kometerapi pertama kali dikenalkan oleh dokter legendaris muslim,  Al-Razi. Al-Razi merupakan dokter pertama yang memperkenalkan penggunaan  zat-zat kimia dan obat-obatan dalam penyembuhan. Zat-zat itu meliputi  belerang, tembaga, merkuri, garam arsenik, sal ammoniac, gold scoria,  ter, aspal dan alcohol.
 
Krometerapi merupakan metode perawatan penyakit dengan menggunakan  warna-warna. Terapi ini merupakan terapi suportif yang dapat mendukung  terapi utama. Menurut praktisi krometerapi, penyebab dari beberapa  panyakit dapat diketahui dari pengurangan warna-warna tertentu dari  system dalam menusia. Terapi ini dikembangkan oleh Ibnu Sina. Ia mampu  menggunakan warna sebagai salah satu bagian paling penting dalam  mendiagnosa dan perawatan. Seperti yang telah ia ungkapkan dalam  kitabnya, The Canon of Medicane, “warna merupakan gejala yang  nampak dalam penyakit”.[7]  
Hirudoterapi merupakan terapi penyembuhan penyakit dengan menggunakan  pacet/lintah sebagai obat untuk tujuan pengobatan. Metode terapi ini  juga diperkanalkan oleh Ibnu Sina dalam karya yang sama. Tapi dalam  kemajuannya, pengobatan dengan lintah inidiperkenalkan lagi oleh  Abdel-Latief pada abad ke-12 M[8].  yang kurang lebih menulis bahwa lintah dapat digunakan untuk  membersihkan jaringan penyakit setelah operasi pembedahan.  
Metode-metode ini banyak disadur dan dikembangkan dalam dunia modern.  Hingga istilah dan penyebutannya pun berbeda. Misalnya, kometerepi, di  dunia modern bisa digunakan kombinasi sitostika dan disebut regimen  kometerapi. Padahal sebelumnya penggunaan kometerapi digunakan satu  jenis saja. Kometerapi pertama modern adalah asrsphenamine karya Paul  Ehrlich, sebuah Arsenic komplel ditemukan pada tahun1909 dan digunakan  untuk merawat sipilis[9].  Dan tentunya masih banyak lagi metode terapi atau cara pengobatan lain  dari khaazanah ilmu kedokteran Islam.  
Institusi-Institusi dan Sistemnya
 
1.      Pendidikan
 
Abad ke-12 dan ke-13 gelombang besar melanda aktivitas kedokteran,  ketika para dokter dari seluruh dunia Muslim mengejar karir institusi  medis di Damaskus dan Kairo. Karena sudah banyak Rumah Sakit yang  didirikan dan memerlukan lebih banyak dokter dalam pengoprasiaanya.  Rujukan pertama dalam mendapatkan ilmu kedokteran adalah Institusi  pendidikan seperti madrasah (sekolahan).
 
Di Damaskus abad ke-13, Muhadzadzab al-Din al-Dakhwar membuat sebuah  sekolahan dalam rangka pengajaran kedokteran eksklusif.[10]  Sekolah tersebut disambut gembira oleh pemimpin otoritas keagamaan kota  tersebut. Ada yang mengatakan, sekolah kedokteran pertama yang dibangun  umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti  Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu  sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang  diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik.  
Pendirian Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya  mempelajari bidang keagamaan, mulai gencar pada abad ke-14 pada era  Usmaniah hingga Sultan Muhammad berkuasa. Madrasah tersebut banyak  mencetak yang tidak hanya ulama’, tapi seorang ilmuwan. Dokter-dokter  pun banyak terlahir dalam pendidikan ini. Pendidikan era Usmani ini,  mempunyai konsep dan metode khusus  dalam mendidik tenaga medis, selain  sudah memiliki tabib, yang dikenal spesialis penyakit pada era itu.
 
Ternyata dalam era Usmani, pendidikan kedokteran tidak hanya  dilakukan di gedung sekolahan, tapi juga di sebuah Rumah Sakit yang  memang ada khusus tempat didik calon dokter. Bedanya dengan madraah, di  RS tidak hanya diajari teori-teori seputar kedokteran, tapi juga praktek  medis langsung. Sedangkan Madrasah lebih banyak mempelajari seluk beluk  kedokteran secara teoritis.
 
2.      Rumah Sakit
 
Rumah sakit merupakan salah satu prestasi institusional terbesar  masyarakat Islam abad pertengahan. Antara abad ke-9 dan ke-10 lima RS  dibangun di Baghdad. Rumah sakit paling terkenal adalah RS Adudi yang  dibangun di bawah pemerintahan Buyudiyah pada tahun 982. Setelah periode  ini jumlah RS meningkat signifikan. Ketika institusi terkenal seperti  RS Nuri di Damaskus (abad ke-12), dan RS al-Mansuri di Kairo (abad  ke-13) dibangun bersamaan dengan RS lain di Qayrawan, Mekkah, Madinah,  dan Rayy. [11]  
Institusi-intitusi medis terbuka bagi semua orang yang memerlukan  pengobatan atau obat. Tidak memandang gender, ras, kelas, orang miskin  atau kaya, agama. Perawatan medis bergerak secara bergilir ke  pelosok-pelosok desa dan juga melayani pengobatan para narapidana.  System peraturan dan menageman  RS juga telah diterapkan. Dengan adanya  pemisahan antara pasien wanita dan laki-laki, jadwal kerja para dokter,  terdapat seorang administrator kepala, seorang kepala setaf yang juga  memiliki wewenang menjalankan operasi medis.
 
Beberapa RS tersedia tempat pendidikan, perpustakaan dan juga  ruang-ruang khusus operasi atau pembedahan. Regulasi yang telah  terorganisasikan secara sistematis, juga didukung dengan sarana-sarana  lainnya. Seperti Muhtasib (supervisor pasar) yang merupakan  pegawai public, berwenang untuk memberikan perlindungan melawan praktek  curang. Manual hisbah (supervise pasar), disusun untuk  menjelaskan kewajiban muhtasib.
 
Dalam RS lebih maju terdapat berbagai fasilitas seperti apa yang  telah dijelaskan. Termasuk apotek (toko obat) khusus untuk melayani  pembelian obat masyarakat umum. Berbicara mengenai apotek, Islam juga  mewarisi apotek-apotek yang dibangun oleh apoteker Islam zaman dulu.  Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The Valueble  contributions of Al-Razi in the History of pharmacy during the middle  Ages, mengungkapkan, apotek pertama di dunia berdiri di kota  Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu Baghdad sudah menjadi Ibu kota  Kekhalifahan Abbasiyah.[12]  
Selain itu, peradaban Islam juga merupakan pendiri sekolah farmasi  pertama. Dengan berkembangnya ilmu farmasi yang begitu cepat membuat  apotek atau toko-toko obat tumbuh berdiri di kota-kota Islam. Hampir di  setiap RS besar dilengkapi dengan apotek instalasi farmakologi. Bahkan  di era Abbasyiah, para ahli-ahli obat mempunyai apotek sendiri  dirumahnya dan menggunakan keahliannya untuk meracik, menyimpan aneka  obat-obatan sendiri. Pemerintah Islam juga mendukung pembangunan  dibidang farmasi, dengan tujuan adanya selektifikasi atau ketelitian  dalam obat.
 
 Secara bersamaan, praktek sosial medis ini menjadikan kedokteran  Islam berada pada satu tingkatan yang tak terprediksikan dalam sejarah  yang selanjutnya memberi kontribusi pada perkembangan tradisi medis  Timur maupun Barat.
 
Etika Kedokteran
 
Dalam praktek pengobatan dan perawatan pada pasien perlu diterapkan  etika. Para dokter harus memiliki sikap tersebut dalam menjalankan  profesinya itu. Karena itu sangat berpengaruh pada keberhasilannya dalam  menyembuhkan pasien. Selain sikap itu khusus untuk menjaga nama baik  atau keprofesionalan seorang dokter, sikap-sikap etis dokter juga  berkaitan dengan psikologi pasien. Bagaimana seorang dokter mampu  menciptakan suasana, menciptakan rasa percaya diri untuk sembuh dan  sebagainya.
 
Profesi dokter yang disandang  seseorang, sangat terhomat di mata  pasiennya. Oleh karena itu untuk menjaga kehormatan, nama baik maupun  keharmonisan antara dokter dan pasiennya, perlu diterapkan sikap-sikap  etis yang diemban para dokter. Berangkat dari situ, tradisi kedoteran  para era kejayaan Islam menetapkan peraturan atau kode etik harus  diemban oleh para dokter. Hingga era kekhalifahan Usmani peraturan  berjalan sangat ketat. Para dokter muslim diwajibkan memegang teguh  etika kedokteran dalam mengobati pasiennya.
 
Akdeniz (sari) N mengatakan dalam karyanya, Osmanlilarda Hekim ve  Hekimlik Ahlaki (Dokter Ottoman dan Etika Kedokteran), “setiap  dokter harus mematuhi etika kedokteran dalam setiap tindakannya”.[13]kesederhanaan/kesopanan,  kepuasan,harapan dan kesetiaan. Akdeniz juga berpendapat  berdasarkan catatan para tokoh di zaman Turki Usmani, etika kedokteran  mengatur dokter saat berinteraksi dengan pasiennya.  Menurut is secara garis besar ada empat hal yang harus dipegang teguh  oleh para dokter di era kekhalifahan Turki Usmani, yaitu 
  
Nilai kesopanan dalam kutipan Akdeniz, tercermin dari sikap  seorang dokter bijak abad 16 M zaman Turki Usmani yang bernama Nidai.  Nidai menasehati pasiennya ketika memuji dirinya setelah berhasil  menyembuhkan, bahwa Allah-lah yang sebenarnya menyembuhkan. Nilai kesetiaan  disarankan dokter terkemuka era Turki, Vesim Abbas bahwa dokter harus  setia dengan pasien dalam pengobatannya walaupun pasien bertindak tidak  baik.
 
Dalam nilai kepuasan ia juga menuturkan bahwa seorang dokter  harus merasa puas terhadap keberhasilannya mengobati dan menyembuhkan  pasien tanpa ambisi mendapatkan uang. Begitu juga rasa optimisme,  seorang dokter tidak boleh menyebabkan pasiennya mengalami  keputusasaan. Seperti yang diajarkan dokter abad 15 M, Ibnu Shareef,  dokter harus mengembangkan dan menumbuhkan rasa optimisme para  pasiennya. Bahkan tidak boleh memberitahukan terkait kematiannya.
 
Tapi dalam karyanya, “Tip Deontolojisi” Prof. Nil tampaknya  menunjukkan kesayanga. Menurut Prof. Nil dizan modern ini, telah terjadi  perubahan yang begitu besar. Akibat pesatnya perkembangan pengetahuan  dan teknologi medis.[14]  Akibatnya nilai-niai moral yang dipegang teguh dokter mulai terkikis  dan tergantikan dengan nilai-nilai baru. Berbeda dengan ungkapan  Beauchamp LT dalamkarya Childress FJ: Principless of Biomedical  Ethics, pada abad ke-20 M, kemajuan besar telah dicapai dibidang  studi etika medis. Etika medis saat ini terkonsentrasi pada pemecahan  pilihan moral sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan peraturannya.[15]  
BAB III
 
AL-Razi dan Ibnu Shina; Analisis Pemikiran & Komparasi  antara Keduanya
 
Menelusuri kembali kelahiran dan perkembangan ilmu kedokteran Islam,  tidak mungkin kita lewatkan para tokoh yang sangat berperan dalam  meletakan karya dan ilmunya, khususnya dalam bidang kedokteran. Al-Razi  dan Ibnu Sina adalah tokoh penting yang karya-karyanya paling berpegaruh   di dunia. Para tokoh dan dokter di dunia tidak melewatkan literatur  dari keduanya sebagai acuan dasar dalam keilmuan.
 
Sebenarnya ada banyak dokter Islam lainnya yang tidak kalah penting  dari karya dan penemuannya dalam bidang medis. Dengan kedua tokoh  tersebut, penulis tidak hanya menunjukkan karya dan kontribusinya yang  di kenal dunia. Tapi lebih melihat perbedaan titik poin atau kefokusan  penelitian keilmuan medis antara keduanya.
 
A.    AL-RAZI
 
Dunia keilmuan, khususnya kedokteran modern, harus mengakui peran dan  gagasan tokoh Islam yang satu ini. Selain seperti yang kita kenal, Ibnu  Shina yang merupakan perintis awal Ilmu kedokteran. Dia adalah Muhammad  bin Zakaria Al-Razi, atau lebih dikenal dengan nama Al-Razi. Menempati  bidang ini pada usia yang dapat dibilang sudah tidak muda lagi.
 
Ia lahir di Rayy, dekat Teheran, Iran, pada tahun 846 M. (w. dikota  yang sama pada tahun 925 M).[16]The Spiritual Physic of Rhazes (penyembuhan  rohani). Walaupun sudah menginjak usia tua, ketekunannya dalam bidang  kedokeran menghasilkan karya-karya sangat monumental. Humayun bin Ishaq  adalah gurunya di Baghdad.  Al-Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Zakaria al-Razi sebagai  seorang pribadi atau pemikir, dia sangat disegani dan dihormati  kalangan sarjana barat.  Seperti A.J. Aberry, yang menulis pengantar  dalam buku Al-Razi, 
  
Dengan karya-karya yang dihasilkan dalam bidang kedokteran,  pengabdian dan kejeniusan al-Razi diakui oleh Barat. Banyak ilmuan Barat  menyebutnya sebagai pionir terbesar dunia Islam dibidang kedokteran.  “Razhes merupakan tabib terbesar dunia Islam, dan satu yang terbesar  sepanjang sejarah”, jelas Max Mayerhof. Sementara sejarawan barat  terkenal, George Sarnton, mengomentari al-Razi , “AL-Razi dari Persia,  dia juga kimiawan dan fisikawan. Dia bisa dinyatakan salah seorang salah  seorang perintis latrokimia zaman renaisans,,,maju dibidang teori, dia  memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis”.[17]  
Dalam karyanya, Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) Ia menyoroti  tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik,  pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain  berjudul 'Al-Murshid'. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang  pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah 'Al-Hawi'. Buku yang  terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran  di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar dan cacar air dalam  Kitab fil al-Jadari wal-Hasba yang merupakan catatan pertama  tentang metode diagnosis dan perawatan atas dua penyakit dan  gejal-gejalanya.
 
B.     IBNU SINA
 
Dunia Islam memanggilnya Ibnu Sina, tapi kalangan Barat menyebutnya  dengan panggilan Avicenna. Ia merupakan seorang ilmuan, filsuf dan  dokter pada abad ke-10. Selain itu dia juga dikenal dengan penulis yang  produktif. Dan sebagian banyak tulisannya berisi tentang filsafat dan  pengobatan. Karya-karyanya membanjiri literatur modern dan mengilhami  karya-karya pemikir barat. Abu Ali Al-Hussain bin Abdullah bin Sina  lahir di Afshana, dekat kota Bukhara, Uzbeskiztan pada tahun 981 M.  Kecerdasannya ditunjukkan pada usia 17 tahun, dengan tingkat kejeniusan  yang sangat tinggi dia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada  pada saat itu dan melebihi siapun juga. Karena kecerdasannya itu dia  diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi.
 
Pengaruh pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya  tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Berbicara tentang  karya-karyanya, tulisannya mencapai 250 karya. Baik dalam bentuk risalah  maupun buku. Karyanya bayak dijadikan rujukan dalam bidang kedokteran  oleh banyak kalangan pemikir. Diantaranya Qanun fi Thib, dalam  buku ini berisi tentang bagaimana cara penyembuhan dan obat-obatan.  Dalam dunia Barat kitab ini diterjemahkan dengan nama The Canon of  Madicine. Dan ada pula yang menyebutnya Ensiklopedia pengobatan.  Asy-Syifa,  dalam buku ini berisi menganai berbagai jenis penyakit, obatnya dan  sekaligus cara pengobatannya berkaitan dengan penyakit bersangkutan.
 
C.    Analisis & Komparasi Metode Dasar  antara Al-Razi dan Ibnu Sina Dalam Ilmu Kedokteran
 
Sebelum membandingkan kedua pemikiran tokoh tersebut, perlu  dijelaskan bagaimana landasan pengobatan menentukan adanya gejala  penyakit sehingga bidang medis menjadi sebuah ilmu yang terstruktur.  Yang nantinya menjadi dasar pemikiran kedua tokoh tersebut. Kembali pada  Abad kesembilan atau tepatnya pada akhir abad kesembilan, tradisi  kedokteran Islam berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan  terintegrasinya sistem patologi[18]  jenaka (humoral) dari Galen dalam kedokteran Islam. Patologi Humoral  didasarkan pada empat gagasan humor (darah, lendir, empedu biru, dan  empedu hitam) dan kaitannya dengan empat elemen (udara, air, api dan  tanah), juga pada empat kualitas (panas, basah, dingin, kering).  
Keseimbangan humor dan kualitas ini menentukan kesehatan, karena itu,  ketidak seimbangan dianggap sebagai sebab timbulnya penyakit. Inilah  titik sebab kenapa perawatan dan pengobatan itu dilakukan, agar dapat  membangun atau memelihara kembali keseimbangan kondisi tubuh yang kacau  (sakit). Artinya internal tubuh didapat dalam keadaan baik sebagaimana  fungsinya dan tentunya harus didukung kondisi atau cuaca lingkungan yang  kondisif. Melalui penggunaan jenis-jenis makanan, obat-obat tertentu  dan melalui pengeluaran darah kotor serta pencahar (obat cuci perut).
 
Sistem yang menjelaskan ilmu kedokteran ini, telah didasari dengan  tingkat argumentasi logis tertentu. Didukung dengan observasi medis  untuk menentukan adanya penyakit yang hinggap dan memberikan penawarnya  (obat). Maka dari itu diskursus teoritis sangat ditekankan pada  observasi klinis, dan pertimbangan teoritis memainkan  peran utama dalam  strukturisasi dan organisasi pengetahuan medis. Artinya, penelitian  atau pengamatan medis tidak hanya bergerak dalam ranah teori atau  wacana. Tapi juga harus didukung pengamatan  empiris (klinis).
 
Kalau kedua dasar dalam membentuk sebuah ilmu pengetahuan medis  tersebut dapat dilakukan dengan dengan seimbang. Maka kegiatan keilmuan  akan menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat  menjadi disiplin ilmu yang dapat diaplikasikan atau diamalkan. Hal  itulah yang dikembangkan ilmu kedokteran Islam dengan sistemisasi dan  rasionalisasi. Dimana yang pertama kali dilakukan adalah usaha untuk  mengorganisir bidang luas ilmu kedokteran dan semua cabangnya menjadi  satu struktur komprehensif dan logis.
 
Tapi sejarah mengatakan, dalam keilmuan medis ada yang fokus pada  pengkajian atau pengamatan klinis dalam membangun keilmuannya. Dengan  menekankan pada kedokteran klinis atau kedokteran kasus dalam prosedur  perawatannya. Representasi yang cukup mewakili dalam penggunaan metode  ini adalah Al-Razi. Dalam tulisan-tulisannya dapat dilihat bagaimana  al-Razi mengungkapkan kritikan terhadap teoritis atas ilmu kedokteran  yang diwarisinya. Dimana dia memfokuskan pada metode dan praktek.
 
Dalam karyanya yang lain, Al-Razi memberi tekanan lebih besar pada  diagnosis dan terapi observasional daripada diagnosis teoritis atas  sakit dan perawatannya. Metodenya ini dibuktikan dalam karyanya yang  berjudul  Kitab fi al-Jadari wal-Hasba (buku tentang cacar dan  cacar air). Ketidak sepakatannya dengan metode teoritis semakin jelas  jika dilihat dari kitab terbesarnya, al-Hawi fi al-Tibb. Karena  kitab ini sudah jelas tidak diatur menurut paradigma teoritis formal.  Didalamnya berisi tentang ensiklopedi kedokteran klinis hasil observasi  al-Razi sendiri.
 
 Dalam keilmuan medisnya, baik dari karya kitab, risalah-risalah  maupun metode pengobatan , Al-Razi menggunakan klasifikasi ilmu  kedoktran terapis, bukan teoritis. Oleh karena itu, dapat dikatakan  bahwa dasar perawatannya mengandalkan hasil-hasil eksperimentasi.  Seperti yang dikatakan John L.E. “Al-Razi tidak melakukan perawatan  berdasarkan kesimpulan logis; namun ia melakukan apa yang sering mampu  mengendalikan ekperimentasi”. Dan terakhir, secara logis penulis  mempunyai kesimpulkan sementara bahwa al-Razi menolak metode teoritis  (logis), kecuali sesuai, setelah dilakukan ekperimentasi (pengamatan  empiris).
 
Masih membahas metode dasar keilmuan medis (kedokteran), Ibnu Sina  mempunyai metode yang berbeda dari al-Razi dalam melakukan kajian  keilmuan medis. Ia lebih memfokuskan pada kajian teoritis, dan melakukan  sistematisasi ilmu kedokteran sebagai sebuah disiplin ilmu. Oleh karena  itu ia terkenal sebagai bapak kedokteran Islam, bahkan dunia. dalam  perjalanan intelektual Ibnu Sina, dalam hal ini bidang medis, ia  melakukan kajian ulang terhadap warisan-warisan karya medis.
 
Hal itu dimenivestasikan dalam karya monumentalnya, al-Qanun fil  al-Tibb (kanon kedokteran). Magnum opusnya al-Qanun ditulis  dengan maksud membuat karya kanonis definitif mengenai kedokteran, yang  sangat komprehensif sekaligus teoritis.[19]   Semua refleksi teoritis dan sistematis atas karya-karya sebelumnya  tercover dalam buku ini. Berawal dari anatomi, kemudia fisiologi,  patologi dan akhirnya terapi. Walaupun dia juga melakukan observasi,  kegiatannya ini terbilang lemah atau tidak fokus dilakukan.  
Corak teoritis dalam karya kedokterannya, bisa dibilang terpengaruh  dengan pemikirannya dalam bidang filsafat yang tak lepas dari pengaruh  Aristoteles. Dimana ia lebih menekankan pada pendekatan logis  sistematis. Sistem ilmu kedoteran yang disusun olehnya, menghasilkan  koherensi dari aplikasi kontinyu dengan memegang prinsip logis dan  teoritis. Kekhasan karya-karya Ibnu Sina dapat merubah tradisi ilmu  kedokteran Islam yang mengutamakan praktek dalam pengobatan. Yang tidak  melihat relevansinya terhadap kajian teoritis.
 
Jika dilhat lagi keidealan ilmu pengetahuan yang terungkap dalam  paragraf-paragraf pertama, kedua pemikiran antara al-Razi dan Ibnu Sina  dapat digabungkan menjadi disiplin Ilmu kedokteran yang kuat. Walaupun  Ibnu Sina mendapat penghargaan atas disiplin Ilmu kedokteran, namun ia  lemah dalam pengamatan empiris. Tapi tidak lantas dapat disimpulkan  keduanya menolak pendekatan teoritis atau observatif. Hanya saja titik  perhatiannya terfokus salah satu metode yaitu antara obserfatif dan  teoritis logis.
 
Al-Razi tidak menolak kesimpulan logis dalam ilmu medis, tapi  menerima dengan syarat melakukan ekperimentasi lebih dulu. Sedangkan  Ibnu Sina tidak juga menolak metode observatif atau klinis, bahkan dia  melakukannya. Tapi hanya saja, pusat perhatiannya lebih pada logis  teoritis. Pemikiran kedua tokoh kedokteran tersebut mempunyai kekhasan  tersendiri. Oleh karena itu metode keduanya dapat memberi masukan satu  sama lain. Sebagai contoh, pengamatan medis secara Al-lRazi sebagai  dasar perawatannya dapat diperkuat dengan diskursus teoritis logia ala  Ibnu Sina.
 
 
BAB IV
 
Penutup
 
Dari penjelasan yang panjang lebar di atas, mengenai tema Ilmu  Kedokteran dalam Islam dapat diambil kesimpulan bahwa Khazanah  Pengetahuan Islam dalam bidang kedokteran sangat kaya dan luas. Hal itu  dapat dilihat dari karya-karya para tokoh kedokteran Islam. Saksi  sejarah yang lain juga terlihat pada bangunan-bangunan Institusi  kedokteran atau rumah sakit, apotek dan institusi yang lain.
 
Wearisan-warisan Islam dalam bidang kedokteran tersebut tidak hanya  menjadi kenangan masa lampau. Tapi lewat karya dokter-dokter Islam, para  ilmuwan Timur maupun Barat dapat menguras habis teori-teori atau metode  pengobatan dan analisis berbagai penyakit beserta obatnya. Dengan  begitu literature-literatur Islam dalam ilmu medis dapat mengilhami  banyak ilmuwan atau dokter dunia.
 
Al-Razi dan Ibnu Sina adalah salah satu dari sekian banyak dokter  Islam yang menurut penulis paling berpengaruh dalam keilmuan ini. Dimana  dapat dilihat penjelasan di atas, khazanah pemikiran dan kontribusinya  sangat luas  dan kaya. Dengan dasar kekhasan pemikiran kedua tokoh  tersebut penulis menempatkan bab khusus untuk membanding metode atau  titik fokus dalam kegiatan kedokterannya. Dan didapatkan suatu  keharmonisan yang saling melengkapi jika metode-metode tersebut dikaji  dan diaplikasikan dengan tetap memagang prinsib keseimbangan.
 
Hal itu sudah terwujud dengan melihat perkembangan kedokteran  sekarang. Seperti, cara pengobatan yang sudah maju, penemua penawar  (obat) bagi penyakit-penyakit, adanya dokter-dokter profesional dan  sebagainya. Dengan ini semua seharusnya Islam tidak hanya berbangga diri  tapi dijadikan suatu cambukkan untuk terus semangat, kreeatif dan  berkerja keras dalam mengambangkan ilmu pengetahuan.
 
 
 
 Jakarta, 17 Januari 2010
 
 
DAFTAR PUST 
 
 AKA  
Esposito, L. John.Sains-Sains Islam. Terjemahan oleh M.  Khoirul Anam.2004. Jakarta: Inisiasi Press.
 
Sucipto, Hery.2003. Ensiklopedi Tokoh Islam, dari Abu Bakar  sampai Nasr dan Qardhawi. Jakarta: Penerbit Hikmah.
 
Seyyed Hossein, Oliver Leaman.2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat  Islam Bandung: Mizan.
 
“Ibnu Sina Bapak Kedokteran Dunia”, REPUBLIKA, 15 Juli 2009.
 
“Al-Razi, Pencetus Kemoterapi”, __________. 16  Juni 2009.
 
“Pendidikan Kedokteran di Era Turki Usman”, _________. 2  Juni 2009.
 
“Etika Kedokteran di Era Turki Usmani”, ___________ . 16 Juni 2009.
 
“KEMOTERAP, Terapi Penyembuhan Kanker Warisan Islam”,_____________ 20  Mei 2009.
 
 
 
 
[1]  http://www.gaulislam.com/menguak-jejak-kedokteran-islam
 
[2]  Ibid,
 
[3]  John L. Esposito, Sains-Sains Islam,.(terjmh). Jakarta:  Inisiasi Press 2004. hal.67.
 
[4]  Ibid. hal. 69.
 
[5]  http://www.gaulislam.com/menguak-jejak-kedokteran-islam.
 
[6]  Ibid.
 
[7]  “KOMETERAP, terapi penyembuhan kangker warisan Islam”, REPUBLIKA.
 
[8]  Ibid.
 
[9]  Ibid.
 
[10]  John L. Esposito, Sains-Sains Islam,.(terjmh). Jakarta:  Inisiasi Press 2004. hal.77.
 
[11]  Ibid.
 
[12]  “Ilmuan Muslim Penopang Apotek” REPUBLIKA. 18 Juli 2009.
 
[13]  “Etika Kedokeran di Era Turki Usman”,REPUBLIKA. 15 Juli 2009.
 
[14]  Ibid.
 
[15]  Ibid
 
[16]  Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, dari Abu Bakar sampai Nasr  dan Qardhawi. (Jakarta: Hikmah 2003). Hal.123.
 
[17]  Ibid,hal 125
 
[18]  “cabang bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan  perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan  bagian tubuh”.
  
[19]  John L. Esposito, Sains-Sains Islam,.(terjmh). Jakarta:  Inisiasi Press 2004. hal.72.